"Aduh, kamu lucu banget. Umurnya berapa bund?" Seorang ibu yang ngga saya kenal, tiba-tiba mendekati Khal. Tangannya lalu mengacak rambut Khal pelan.
"Dua setengah tahun bu" Saya melempar senyum dan berharap statement yang paling saya khawatirkan ngga diungkapkan.
"Oh, saya pikir malah belum dua tahun. Imut ya" ucap si ibu sambil terus memerhatikan postur tubuh Khal.
Ternyata, statement yang paling saya 'benci' terucap juga. Saya tahu, definisi 'imut' yang si ibu maksud itu adalah pendek dan kecil. Bukan sekali dua kali pernyataan itu terdengar di telinga saya. Mirisnya itu terucap dari orang yang sama sekali ngga saya kenal. Tanpa basa basi, mengeluarkan statement yang bisa jadi malah melukai perasaan si ibu.
Kejadian seperti bukan kali pertama bagi saya. Saat kakaknya Khal kecil pun saya sudah harus bersabar dan berbesar hati menerima pernyataan 'kok pendek ya', 'kok kecil banget, ya', 'oh udah 4 tahun, kok kaya anak 2 tahun sih' :( Kalau sudah ngga tahan, ya paling saya nangis sambil peluk si kakak.
Jujur, anak saya memang tidak terlalu tinggi. Kalau saya cek di KMS, kakaknya Khal saat balita, tingginya kurang 2cm dari yang seharusnya. Khal pun tidak jauh berbeda. Tapi pertumbuhan mereka yang lainnya, menurut saya sangat optimal. Si kakak sudah bisa jalan di usia 10 bulan dan bisa lancar bicara di usia 1 tahun. Sedangkan Khal, kognitif dan motoriknya sangat bagus. Khal juga sudah bisa memahami emosi baik diri sendiri dan lawan bicaranya. Khal hampir jarang sekali crancky apalagi tantrum. Khal paham akan larangan. Itu yang membuat saya, harusnya merasa bangga dan ngga minder dengan kondisi anak-anak saya.
Apa Anak Saya Stunting?
Sempat terpikir, apa anak saya ini stunting ya? Abisnya, kok mereka pendek dan ngga seperti anak-anak seusianya. Padahal suami saya memiliki tinggi badan 175cm, sedangkan saya 156cm. Ya, ngga begitu pendek-pendek banget ya orangtuanya. Tapi setelah saya konsultasikan ke tenaga kesehatan di Posyandu, anak saya ngga tergolong stunting.
Kenapa masyarkat yang masih kurang aware terhadap stunting? Karena banyak masyarkat yang menganggap, anak pendek itu karena faktor genetik dari orangtuanya. Akhirnya, mereka menerima tanpa berbuat apa-apa untuk mencegahnya. Padahal, genetika merupakan faktor determinan kesehatan yang paling kecil pengaruhnya, bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya), dan pelayanan kesehatan. Dengan kata lain, stunting merupakan masalah yang bisa dicegah.
Bagaimana mendeteksi bahwa seorang anak bisa dikategorikan stunting? Minggu lalu, saya dan rekan blogger dari Kumpulan Emak Blogger menghadiri Prima Talk persembahan Frisian Flag yang menangkat tema Cegah Stunting dan Dampak Negatifnya Terhadap Perkembangan Otak dan Pertumbuhan Fisik Anak Prima Dengan 9AAE dan DHA 4x. Ada beberapa narasumber yang dihadirkan untuk sama-sama membahas soal tumbuh kembang anak, terutama soal stunting ini. Narasumber yang dihadirkan, diantaranya:
- Andrew F Saputro , Coorporate Affairs Director PT Frisian Flag Indonesia
- Prof. DR. dr. Rini Sekartini, Sp.A (K), Dokter Spesialis Anak Pakar Tumbuh Kembang
- Pratiwi Rosani, Category Marketing Manager PT Frisian Flag Indonesia
- Baim Wong dan Paula Verhoeven, Public Figure
- Purwanto Wahyudi, Senior Manager Marketing Microeconomics Indomaret
Prof. Rini menjelaskan, Stunting masih menjadi tantangan yang harus ditangani. Mengutip data dari Riskesdas, pada tahun 2018 angka stunting mencapai 30, 8% tapi menurun sedikit di tahun 2019 menjadi 27,7% berdasarkan survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI).
Prof. Rini menambahkan, status gizi anak itu dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Pola makan bergizi seimbang perlu diterapkan agar dapat memengaruhi status gizi anak secara positif. Gizi seimang dapat dicapai apabila makanan dan yang dikonsumsi dalam jumlah cukup, berkualitas baik, dan beragam jenisnya untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan tubuh.
Anak yang terlahir dalam keadaan gizi kurang, maka ia akan tumbuh menjadi remaja dengan status gizi kurang. Jika anak itu perempuan, maka ia berpotensi melahirkan anak dengan kondisi gizi kurang. Maka, kita harus memutus mata rantai ini, dengan berbagai upaya seperti sosialiasi dan edukasi. Tapi, semuanya harus dilakukan secara kontinyu. Karena mengubah perilaku dan pola hidup, tidak bisa instan. Butuh kesabaran untuk menjalaninya dan meningkatkan literasi pada masyarakat. Agar masyarakat paham dan sadar betapa pentingnya kecukupan gizi, demi mencetak generasi yang unggul di masa mendatang.
Buat para ibu, calon ibu, dan remaja putri, harus lebih aware ya. Karena, dari kitalah calon-calon penerus bangsa lahir. Kita tentunya mau memiliki anak yang sehat dan cerdas kan.
3 Hal Penyebab Stunting
- Karbohidrat sebagai sumber energi. Bisa berupa nasi, roti, tepung gandung, atau umbi-umbian
- Protein lengkap, baik nabati maupun hewani, seperti : ikan, telur, tempe, tahu, daging
- Lemak
- Mineral penting seperti Fe, Zn, Ca, garam, dan asam folat yang berfungsi penting sebagai zar pembentuk jaringan otak
- Vitamin, terutama B dan C
- Minimal 2 liter air atau lebih
Memang bahaya banget, aku juga baru paham tentang stunting ini. Kalau begini kita perlu mengawasi tumbuh kembang anak secara intens dan mencegah stunting. Terima kasih infonya, Mbak.
BalasHapusIya mak, kalau aware sejak dini, bisa kecolongan nanti. Efek jangka panjang dari Stunting ini bahaya banget sih menurut saya.
Hapus